siap jadi bahagia

Seminggu terakhir ini entah kenapa ada satu kata yang selalu berseliweran di sekitar saya tanpa dicari. Happiness. Kata itu memang sering muncul di berbagai percakapan, baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Saat bicara tentang pekerjaan dan karir, kata itu kerap muncul di ujung diskusi. Ketika mempertanyakan masalah hubungan, dengan keluarga, pasangan, teman. Kata itu juga muncul. Namun, jika selama ini kata itu muncul lebih dalam konteks pertanyaan (“are you happy?”) atau pernyataan (“I’m happy“). Akhir-akhir ini seakan-akan ada gelombang informasi yang menerpa saya berisi penjelasan di balik makna kata itu.

the opposite of happiness is not depression. The opposite of happiness is unhappiness.

Sekarang saya sedang membaca buku Gretchen Rubin, The Happiness Project yang karena sesuatu hal mengkondisikan buku ini ada di rumah saya dan daripada membiarkannya teronggok maka saya mencoba membacanya. Sebelum memutuskan untuk membaca buku ini, pertanyaan yang muncul di pikiran saya. “Memangnya kamu nggak happy sampai merasa perlu membaca buku ini?”. Ya, biasanya kita membaca buku untuk mencari pengetahuan. Mencari jawaban. Kalau saya membaca buku tentang kebahagiaan berarti saya tidak bahagia? Setelah saya pikir pertanyaan itu nggak tepat. Mencari informasi atau pandangan tentang apa itu bahagia bukan berarti kita nggak bahagia dan bersyukur dengan keadaan kita, namun salah satu bentuk usaha untuk mencari dan memberi makna. OK, saya happy dengan kehidupan saya sekarang tapi apakah saya cukup memahami makna akan apa yang sudah, sedang dan akan saya dapatkan? See, belum buka lembar pertama berbagai pikiran sudah memborbardir, sampai akhirnya saya mikir lagi. Apa untungnya sih membuat penilaian (yang terlalu keras) terhadap diri sendiri? Kalau memang mau baca, bacalah. Toh, kasusnya sama saja seperti mau baca stensilan atau buku aliran kiri. Beda konteksnya saja. Ternyata saat saya mulai membacanya, paradoks yang serupa juga dialami Rubin saat ia menceritakan bagaimana awalnya ia memulai proyek kebahagiaannya. Ia pun harus menelan rentetan pertanyaan dari orang-orang terdekatnya maupun dirinya sendiri.  “Kenapa saya harus mencari tahu apa itu bahagia dan apa yang membuat bahagia? Apakah saya kurang nggak bahagia? Apakah saya depresi? Apakah saya merasa kurang dengan hidup saya sehingga merasa perlu untuk mencari bahagia? “. Akhirnya ia berkesimpulan, “the opposite of happiness is not depression. The opposite of happiness is unhappiness.”

Saya setuju dengan pernyataan itu. Selain itu, mungkin ini alasan mengapa manusia nggak hanya dikaruniai otak namun juga hati. Supaya hidup yang kita jalani nggak hanya sekadar numpang lewat, tetapi juga berarti. Kita gelisah memikirkan dan mencari bahagia karena kita ingin membuat hidup kita berarti. Saya jadi ingat kalimat yang kerap dikatakan oleh teman baik saya, mas Reza Gunawan. “Be here and now.”. Hiduplah di sini dan sekarang.  Bukan karena kita nggak belajar akan masa lalu, atau tidak memikirkan masa depan namun karena memang saat inilah yang kita miliki. Perhatikan dan lakukan yang terbaik untuk saat ini, karena apa yang kita dapat dan berikan saat ini tentu akan menuai hasil di masa depan. Jadi, mungkin itulah arti dari pencarian bahagia. Agar kita punya alasan mengapa kita dilahirkan di sini. Lalu kapan kebahagiaan itu bisa diraih? Ya, ketika kita siap untuk menjadi bahagia. Seperti kata Buddha, “when the student is ready, the teacher will appear.”

Bintaro, 26 Juli 2010 dan paragraf terakhir 28 Januari 2011

8 thoughts on “siap jadi bahagia”

  1. Hola, neing! Hehe..

    Ah.. Me like this post..
    I always believe that the seeds of happiness actually stay within every soul. You just have to give the right treats so it’ll grow. Give them chance to grow..

    Aku link yes blog kamu d blog aku :)

Leave a reply to nike prima Cancel reply